Jumat, 10 Februari 2012

Arti Sebuah Tamparan

Arti Sebuah Tamparan

Dulu waktu kita kecil tatkala ditanya oleh seseorang, “Siapa Tuhan kamu?” Spontan kita menjawab, “Allah SWT” Lalu ketika ditanya argumentasi mengapa kamu meyakini Allah SWT sebagai Tuhan? Biasanya jawaban yang terlontar dari lisan kecil kita adalah karena itulah yang diajarkan orangtua kita, guru kita, atau ustadz-ustadz kita di mesjid.
Saaudara-saudaraku, Allah SWT sebagai Tuhan kita mesti kita kenali. Pertanyaannnya adalah  mungkinkah Allah SWT kita kenali? Ada beberapa pendekatan yang bisa digunakan guna menjawab pertanyaan tersebut.
Pertama, pendekatan secara naqli. Dalil naqli adalah dalil yang bersumber dari Al-Qur`an dan hadits. Al-Qur`an dan hadits sebagai referensi utama, sumber hukum, dan pusaka Nabi Muhammad.
Adakah ayat-ayat Al-Qur`an atau hadits Nabi yang menyatakan Allah itu Tuhan kita? Sangat banyak bertebaran di berbagai ayat dan hadits. Ambillah contoh QS. Al-Ikhlash. Surat ini memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dengan surat-surat lainnya dalam Al-Qur`an. Keunikannya terletak pada penamaan judul surat tersebut. Biasanya nama surat diambil dari kata atau cerita yang terkandung di dalamnya. Al-Fil diambil karena di dalam surat tersebut disebutkan alam tara kaifa fa’ala rabbuka bi ashabi al-fil. Begitu pula surat-surat yang lainnya. Namun tidak demikian halnya dengan surat Al-Ikhlash. Dari ayat pertama sampai ayat terakhir tidak ditemukan kata al-ikhlash di dalamnya. Lalu apa rahasia ilahi di balik surat yang paling sering kita baca dalam shalat ini?
Ikhlas berarti murni, tulus, dan tidak bercampur dengan apa pun. Ayat pertama, Qul huwa Allahu ahad, (Katakanlah, Dia-lah Allah Yang Maha Esa). Allah SWT menuntut kita untuk memurnikan ketauhidan hanya kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya. Kedua, Allahu Al-Shamad (Allah itu tempat bergantung). Allah SWT menghendaki kita agar kita tulus memohon, tulus meminta, tulus berdoa, dan menggantungkan semua urusan hanya kepada-Nya, tidak kepada selain-Nya. Ketiga, lam yalid wa lam yuulad (Tidak beranak dan tidak pula diperanakkan). Allah menginginkan kita untuk memurnikan keyakinan kita bahwa Allah tidak berketurunan dan tidak pula beribu bapak. Maha Suci Allah yang terbebas dari konsep trinitas. Keempat, wa lam yakun lahu kuffuwan ahad (Tidak ada seorang pun yang bisa menyamai-Nya). Allah SWT menghendaki kita untuk memurnikan aqidah bahwa Dia MahaKuasa sehingga tidak ada seorang pun yang bisa menyamai-Nya.
Dalil lainnya adalah QS. Al-Nas. Pada surat ini Allah menyatakan diri-Nya sebagai rabb al-nas, malik al-nas, dan ilah al-nas. Ketiga sifat Allah ini disandarkan kepada kata al-nas (manusia). Hal ini menunjukkan bahwa manusia memiliki kedudukan yang mulia di hadapan Allah SWT.
Kedua, pedekatan secara ’aqli. Argumentasi secara logika dan rasional bisa digunakan untuk mengenal Allah.
Dulu Nabi Musa berdakwah kepada Fir’aun dan mengatakan bahwa Tuhan itu Allah bukan Fir’aun. Fir’aun berang dan menyuruh Haman untuk membangun piramida yang sangat fenomenal. Namun di balik megahnya piramida tersebut sebenarnya tersimpan tragedi kemanusiaan yang sangat memilukan, karena bani israil dipaksa bekerja secara rodi tanpa upah yang layak sehingga banyak korban berjatuhan. Sementara tujuan pembangunan piramida itu sendiri adalah untuk melihat Allah secara langsung dan untuk membentuk opini publik bahwa Musa itu seorang pendusta. Baca QS. Al-Qashash: 38. Dakwah Musa terhadap penguasa pun ditolak mentah-mentah.
Nabi Musa pun mencoba berdakwah ke kalangan grass root dengan menjadikan bani israil sebagai objek dakwahnya. Namun apa yang beliau dapati? Ternyata syarat yang diajukan bani Israil sangat sulit untuk dipenuhi Musa. Mereka berkata, “Kami tidak akan beriman kepadamu sampai kami melihat Allah secara nyata!” Baca QS. Al-Baqarah: 55. Sedikit sekali di antara mereka yang beriman dan menjadi pengikut Musa.
Di Eropa, ada seorang guru yang bertanya kepada siswa-siswa usia SD. “Anak-anak, apakah kalian melihat spidol yang bapak pegang?” Serentak mereka menjawab, “Ya, pak” Guru itu berkata, “Berarti spidol ini ada”. Guru itu bertanya lagi, “Apakah kalian melihat whiteboard di depan kelas ini? Kembali mereka menjawab, “Ya, pak”. Guru itu berkomentar, “Berarti whiteboard ini ada”. Pertanyaan terakhir yang diajukan guru tersebut, “Apakah kalian melihat Allah SWT? Serentak mereka menjawab, “Tidak, pak”. Guru itu berkata, “Berarti Allah SWT tidak ada dan bukan Tuhan kita”. Guru ini sedang mendoktrin siswa-siswanya agar berfaham atheis.
Selama beberapa menit suasana kelas sunyi senyap, hening, dan tidak ada yang berani bersuara. Seorang anak yang kritis dan cerdas mengacungkan tangan dan memecah kesunyian. “Pak, saya minta izin untuk bertanya kepada teman-teman saya!” Guru itu pun mempersilahkan.
Siswa itu bertanya, “Teman-teman, apakah kalian melihat bapak guru kita di depan kelas? Teman-temannya menjawab, “Ya”. Lalu ia bilang, “Berarti bapak guru kita ada”. Ia melanjutkan pertanyaannya, “Teman-teman, apakah kalian melihat otak bapak guru kita? Serentak mereka menjawab, “Tidak”. Lalu ia berkomentar, “Berarti bapak guru kita tidak berotak”. Guru itu pun malu bercampur marah dan jengkel.
Anak kritis ini memberikan pembelajaran kepada kita bahwa dalam kehidupan ini ada yang disebut dengan hidden reality (kenyataan yang tersembunyi) namun pengaruhnya jelas terasa oleh kita. Pengaruh tersebut menunjukkan bahwa hal itu ada walaupun tidak terlihat. Otak tidak terlihat karena terbungkus kepala kita, berarti otak adalah hidden reality. Namun pengaruhnya sangat terasa oleh kita. Dengan otak, kita bisa berpikir, menganalisa, berimajinasi, dan sebagainya. Darah adalah hidden reality karena tertutupi kulit kita, namun pengaruhnya tidak ada yang menyangkalnya. Kita bisa beraktivitas, bergerak, bekerja, dan sebagainya karena darah berfungsi secara normal.
Ada seorang pemuda yang beru pulang dari Amerika. Dia meminta kepada ayahnya untuk mendatangkan seorang guru mengaji. Ayahnya pun memenuhi permintaannya.
Ketika sudah face to face dengan ustadz tersebut, pemuda itu berkata, “Pak ustadz, sebelum ustadz mengajarkan saya ajaran Islam, tolong jawab dulu dua pertanyaan saya. Kalau ustadz bisa menjawab, silahkan ajari saya mengaji. Kalau tidak, sebaiknya ustadz pulang saja” Dengan sangat arogan pemuda ini mengajukan dua pertanyaan. Ustadz itu pun tidak berkutik dan pulang.
Kemudian ayahnya mendatangkan ustadz yang kedua. Ustadz ini pun sama tidak berdaya. Tidak mampu menjawab dua pertanyaan pemuda tersebut. Ia pun kembali pulang.
Lalu didatangkanlah ustadz ketiga.
Mungkin muncul pertanyaan dalam benak kita kira-kira apa dua pertanyaan yang diajukan pemuda tersebut sehingga dua ustadz tadi kelimpungan untuk menjawabnya. Dan pertanyaan serupa ditanyakan kepada ustadz ketiga ini. Dan inilah kedua pertanyaan tersebut:
Pertama, ustadz, tolong tunjukkan wujud Allah pada saya!
Kedua, seandainya setan dimasukkan ke dalam neraka dan diazab di dalamnya, niscaya setan tidak akan merasakan sakit sedikit pun, karena setan dan neraka tercipta dari unsur yang sama, yaitu api. Tolong jelaskan kedua hal tersebut kepada saya!
Ustadz tersebut tersenyum dan menghampiri pemuda itu lalu menamparnya dengan sekeras-kerasnya. Pemuda itu pun kaget dan bertanya, “Ustadz, mengapa ustadz menampar saya? Ustadz itu menjawab, “Itulah jawaban saya untuk dua pertanyaan kamu sekaligus”
Maksud pak ustadz? Pemuda itu heran.
Ustad berkata, “Apa yang kamu rasakan ketika saya tampar?”
Pemuda itu menjawab, “Perih pak ustadz”
Ustadz berkata, “Tolong tunjukkan wujud perih itu pada saya!”
“Saya tidak bisa” Pemuda itu menjawab.
Itulah jawaban yang pertama. Kamu meminta saya untuk menunjukkan wujud Allah. Saya tidak bisa melakukannya sebagiamana kamu tidak bisa menunjukkan wujud perih itu pada saya. Namun jelas bahwa Allah dan perih itu memang ada dan terasa.
“Lalu apa yang saya gunakan untuk menampar kamu? Dan bagian tubuh kamu yang mana yang saya tampar? Tanya ustadz tersebut.
“Telapak tangan pak ustadz dan pipi saya” Jawab pemuda tersebut.
“Telapak tangan saya dan pipi kamu terbuat dari apa? Tanya ustadz tersebut.
“Dari kulit” Jawab pemuda itu.
“Apakah pipi kamu terasa sakit ketika saya tampar” kembali ustadz itu bertanya.
“Ya, pak ustadz” Jawab pemuda itu.
“Nah, itulah jawaban saya yang kedua. Pipi kamu terasa sakit ketika ditampar telapak tangan saya, walaupun pipimu dan telapak tangan saya terbuat dari unsur yang sama yaitu kulit. Begitu pula setan dan neraka walaupun tercipta dari unsur yang sama yaitu api, tetap saja setan akan merasa sakit ketika disiksa di neraka” Ustadz tersebut memberinya nasehat.
Rasulullah memberi arahan yang indah kepada kita, “Pikirkanlah olehmu tentang ciptaan Allah dan janganlah kamu memikirkan tentang Penciptanya, karena sesungguhnya kamu tidak akan mampu menjangkau kadarnya”. (HR. Abu Syaikh).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar