Senin, 05 Maret 2012

keutamaan membayar utang

Oleh: Muhammad Wasitho, Lc

Di dalam kehidupan sehari-hari ini, kebanyakan manusia tidak terlepas dari yang namanya hutang piutang. Sebab di antara mereka ada yang membutuhkan dan ada pula yang dibutuhkan. Demikianlah keadaan manusia sebagaimana Allah tetapkan, ada yang dilapangkan rezekinya hingga berlimpah ruah dan ada pula yang dipersempit rezekinya, tidak dapat mencukupi kebutuhan pokoknya sehingga mendorongnya dengan terpaksa untuk berhutang atau mencari pinjaman dari orang-orang yang dipandang mampu dan bersedia memberinya pinjaman.

Dalam ajaran Islam, utang-piutang adalah muamalah yang dibolehkan, tapi diharuskan untuk ekstra hati-hati dalam menerapkannya. Karena utang bisa mengantarkan seseorang ke dalam surga, dan sebaliknya juga menjerumuskan seseorang ke dalam neraka.

A. PENGERTIAN HUTANG PIUTANG:
Di dalam fiqih Islam, hutang piutang atau pinjam meminjam telah dikenal dengan istilah Al-Qardh. Makna Al-Qardh secara etimologi (bahasa) ialah Al-Qath’u yang berarti memotong. Harta yang diserahkan kepada orang yang berhutang disebut Al-Qardh, karena merupakan potongan dari harta orang yang memberikan hutang.(1)
Sedangkan secara terminologis (istilah syar’i), makna Al-Qardh ialah menyerahkan harta (uang) sebagai bentuk kasih sayang kepada siapa saja yang akan memanfaatkannya dan dia akan mengembalikannya (pada suatu saat) sesuai dengan padanannya.(2)

Atau dengan kata lain, Hutang Piutang adalah memberikan sesuatu yang menjadi hak milik pemberi pinjaman kepada peminjam dengan pengembalian di kemudian hari sesuai perjanjian dengan jumlah yang sama. Jika peminjam diberi pinjaman Rp. 1.000.000 (satu juta rupiah) maka di masa depan si peminjam akan mengembalikan uang sejumlah satu juta juga.

B. HUKUM HUTANG PIUTANG:
Hukum Hutang piutang pada asalnya DIPERBOLEHKAN dalam syariat Islam. Bahkan orang yang memberikan hutang atau pinjaman kepada orang lain yang sangat membutuhkan adalah hal yang DISUKAI dan DIANJURKAN, karena di dalamnya terdapat pahala yang besar. Adapun dalil-dalil yang menunjukkan disyariatkannya hutang piutang ialah sebagaimana berikut ini:
Dalil dari Al-Qur’an adalah firman Allah :
مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً وَاللَّهُ يَقْبِضُ وَيَبْسُطُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ (245)
“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Baqarah: 245)

Sedangkan dalil dari Al-Hadits adalah apa yang diriwayatkan dari Abu Rafi’, bahwa Nabi  pernah meminjam seekor unta kepada seorang lelaki. Aku datang menemui beliau membawa seekor unta dari sedekah. Beliau menyuruh Abu Rafi’ untuk mengembalikan unta milik lelaki tersebut. Abu Rafi’ kembali kepada beliau dan berkata, “Wahai Rasulullah! Yang kudapatkan hanya-lah seekor unta ruba’i terbaik?” Beliau bersabda,
“Berikan saja kepadanya. Sesungguhnya orang yang terbaik adalah yang paling baik dalam mengembalikan hutang.” (3)

Nabi  juga bersabda:
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُقْرِضُ مُسْلِمًا قَرْضًا مَرَّتَيْنِ إِلاَّ كَانَ كَصَدَقَتِهَا مَرَّةً
“Setiap muslim yang memberikan pinjaman kepada sesamanya dua kali, maka dia itu seperti orang yang bersedekah satu kali.” (HR. Ibnu Majah II/812 no.2430, dari Ibnu Mas’ud . Hadits ini di-hasan-kan oleh Al-Albani di dalam Irwa’ Al-ghalil Fi Takhrij Ahadits manar As-sabil (no.1389).)
Sementara dari Ijma’, para ulama kaum muslimin telah berijma’ tentang disyariatkannya hutang piutang (peminjaman).

C. PERINGATAN KERAS TENTANG HUTANG:
Dari pembahasan di atas, kita telah mengetahui dan memahami bahwa hukum berhutang atau meminta pinjaman adalah DIPERBOLEHKAN, dan bukanlah sesuatu yang dicela atau dibenci, karena Nabi  pernah berhutang.(4) Namun meskipun demikian, hanya saja Islam menyuruh umatnya agar menghindari hutang semaksimal mungkin jika ia mampu membeli dengan tunai atau tidak dalam keadaan kesempitan ekonomi. Karena hutang, menurut Rasulullah , merupakan penyebab kesedihan di malam hari dan kehinaan di siang hari. Hutang juga dapat membahayakan akhlaq, sebagaimana sabda Rasulullah  (artinya): “Sesungguhnya seseorang apabila berhutang, maka dia sering berkata lantas berdusta, dan berjanji lantas memungkiri.” (HR. Bukhari).

Rasulullah  pernah menolak menshalatkan jenazah seseorang yang diketahui masih meninggalkan hutang dan tidak meninggalkan harta untuk membayarnya. Rasulullah  bersabda:
يُغْفَرُ لِلشَّهِيدِ كُلُّ ذَنْبٍ إِلاَّ الدَّيْنَ
“Akan diampuni orang yang mati syahid semua dosanya, kecuali hutangnya.” (HR. Muslim III/1502 no.1886, dari Abdullah bin Amr bin Ash ).

Diriwayatkan dari Tsauban, mantan budak Rasulullah, dari Rasulullah , bahwa Beliau bersabda:
« مَنْ فَارَقَ الرُّوحُ الْجَسَدَ وَهُوَ بَرِىءٌ مِنْ ثَلاَثٍ دَخَلَ الْجَنَّةَ مِنَ الْكِبْرِ وَالْغُلُولِ وَالدَّيْنِ »
“Barangsiapa yang rohnya berpisah dari jasadnya dalam keadaan terbebas dari tiga hal, niscaya masuk surga: (pertama) bebas dari sombong, (kedua) dari khianat, dan (ketiga) dari tanggungan hutang.” (HR. Ibnu Majah II/806 no: 2412, dan At-Tirmidzi IV/138 no: 1573. Dan di-shahih-kan oleh syaikh Al-Albani).

Dari Abu Hurairah , bahwa Rasulullah  bersabda:
« نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ »
“Jiwa orang mukmin bergantung pada hutangnya hingga dilunasi.” (HR. Ibnu Majah II/806 no.2413, dan At-Tirmidzi III/389 no.1078. dan di-shahih-kan oleh syaikh Al-Albani).

Dari Ibnu Umar  bahwa Rasulullah  bersabda:
« مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ دِينَارٌ أَوْ دِرْهَمٌ قُضِىَ مِنْ حَسَنَاتِهِ لَيْسَ ثَمَّ دِينَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ »
“Barangsiapa meninggal dunia dalam keadaan menanggung hutang satu Dinar atau satu Dirham, maka dibayarilah (dengan diambilkan) dari kebaikannya; karena di sana tidak ada lagi Dinar dan tidak (pula) Dirham.” (HR. Ibnu Majah II/807 no: 2414. dan di-shahih-kan oleh syaikh Al-Albani).

عَنْ أَبِى قَتَادَةَ أَنَّهُ سَمِعَهُ يُحَدِّثُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ قَامَ فِيهِمْ فَذَكَرَ لَهُمْ « أَنَّ الْجِهَادَ فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَالإِيمَانَ بِاللَّهِ أَفْضَلُ الأَعْمَالِ ». فَقَامَ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ إِنْ قُتِلْتُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ تُكَفَّرُ عَنِّى خَطَايَاىَ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « نَعَمْ إِنْ قُتِلْتَ فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَأَنْتَ صَابِرٌ مُحْتَسِبٌ مُقْبِلٌ غَيْرُ مُدْبِرٍ ». ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « كَيْفَ قُلْتَ ». قَالَ أَرَأَيْتَ إِنْ قُتِلْتُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ أَتُكَفَّرُ عَنِّى خَطَايَاىَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « نَعَمْ وَأَنْتَ صَابِرٌ مُحْتَسِبٌ مُقْبِلٌ غَيْرُ مُدْبِرٍ إِلاَّ الدَّيْنَ فَإِنَّ جِبْرِيلَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ قَالَ لِى ذَلِكَ »
Dari Abu Qatadah , bahwasannya Rasulullah pernah berdiri di tengah-tengah para sahabat, lalu Beliau mengingatkan mereka bahwa jihad di jalan Allah dan iman kepada-Nya adalah amalan yang paling afdhal. Kemudian berdirilah seorang sahabat, lalu bertanya, “Ya Rasulullah, bagaimana pendapatmu jika aku gugur di jalan Allah, apakah dosa-dosaku akan terhapus dariku?” Maka jawab Rasulullah  kepadanya “Ya, jika engkau gugur di jalan Allah dalam keadaan sabar mengharapkan pahala, maju pantang melarikan diri.” Kemudian Rasulullah bersabda: “Melainkan hutang, karena sesungguhnya Jibril ’alaihissalam menyampaikan hal itu kepadaku.” (HR. Muslim III/1501 no: 1885, At-Tirmidzi IV/412 no:1712, dan an-Nasa’i VI: 34 no.3157. dan di-shahih-kan oleh syaikh Al-Albani dalam Irwa-ul Ghalil no: 1197).

D. SYARAT PIUTANG MENJADI AMAL SHOLIH?
1. Harta yang dihutangkan adalah harta yang jelas dan murni kehalalannya, bukan harta yang haram atau tercampur dengan sesuatu yang haram.
2. Pemberi piutang / pinjaman tidak mengungkit-ungkit atau menyakiti penerima pinjaman baik dengan kata-kata maupun perbuatan.
3. Pemberi piutang/pinjaman berniat mendekatkan diri kepada Allah dengan ikhlas, hanya mengharap pahala dan ridho dari-Nya semata. Tidak ada maksud riya’ (pamer) atau sum’ah (ingin didengar kebaikannya oleh orang lain).
4. Pinjaman tersebut tidak mendatangkan tambahan manfaat atau keuntungan sedikitpun bagi pemberi pinjaman.

E. BEBERAPA ADAB ISLAMI DALAM HUTANG PIUTANG:
Bagaimana Islam mengatur berhutang-piutang yang membawa pelakunya ke surga dan menghindarkan dari api neraka? Perhatikanlah adab-adabnya di bawah ini:

[1]. Hutang piutang harus ditulis dan dipersaksikan.
Dalilnya firman Allah :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الأخْرَى وَلا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا وَلا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَى أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى أَلا تَرْتَابُوا إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلا تَكْتُبُوهَا وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ وَلا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلا شَهِيدٌ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ (282)
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Rabbnya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tidak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil, dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli ; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian) maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah ; Allah mengajarmu ; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (QS. Al-Baqarah: 282)

Berkaitan dengan ayat ini, Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “ini merupakan petunjuk dari-Nya untuk para hamba-Nya yang mukmin. Jika mereka bermu’amalah dengan transaksi non tunai, hendaklah ditulis, agar lebih terjaga jumlahnya dan waktunya dan lebih menguatkan saksi. Dan di ayat lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengingatkan salah satu ayat: “Hal itu lebih adil di sisi Allah dan memperkuat persaksian dan agar tidak mendatangkan keraguan”. (5)

[2]. Pemberi hutang atau pinjaman tidak boleh mengambil keuntungan atau manfaat dari orang yang berhutang.
Kaidah fikih berbunyi:
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ نَفْعًا فَهُوَ رِبًا
“Setiap hutang yang membawa keuntungan, maka hukumnya riba”. Hal ini terjadi jika salah satunya mensyaratkan atau menjanjikan penambahan.

Dengan kata lain, bahwa pinjaman yang berbunga atau mendatangkan manfaat apapun adalah haram berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijma’ para ulama. Keharaman itu meliputi segala macam bunga atau manfaat yang dijadikan syarat oleh orang yang memberikan pinjaman kepada si peminjam. Karena tujuan dari pemberi pinjaman adalah mengasihi si peminjam dan menolongnya. Tujuannya bukan mencari kompensasi atau keuntungan.(6) Dengan dasar itu, berarti pinjaman berbunga yang diterapkan oleh bank-bank maupun rentenir di masa sekarang ini jelas-jelas merupakan riba yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. sehingga bisa terkena ancaman keras baik di dunia maupun di akhirat dari Allah .

Syaikh Shalih Al-Fauzan –hafizhahullah- berkata : “Hendaklah diketahui, tambahan yang terlarang untuk mengambilnya dalam hutang adalah tambahan yang disyaratkan. (Misalnya), seperti seseorang mengatakan, “saya beri anda hutang dengan syarat dikembalikan dengan tambahan sekian dan sekian, atau dengan syarat anda berikan rumah atau tokomu, atau anda hadiahkan kepadaku sesuatu”. Atau juga dengan tidak dilafadzkan, akan tetapi ada keinginan untuk ditambah atau mengharapkan tambahan, inilah yang terlarang, adapun jika yang berhutang menambahnya atas kemauan sendiri, atau karena dorongan darinya tanpa syarat dari yang berhutang ataupun berharap, maka tatkala itu, tidak terlarang mengambil tambahan.(7)

[3]. Melunasi hutang dengan cara yang baik
Hal ini sebagaimana hadits berikut ini:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه – قَالَ كَانَ لِرَجُلٍ عَلَى النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – سِنٌّ مِنَ الإِبِلِ فَجَاءَهُ يَتَقَاضَاهُ فَقَالَ – صلى الله عليه وسلم – « أَعْطُوهُ » . فَطَلَبُوا سِنَّهُ ، فَلَمْ يَجِدُوا لَهُ إِلاَّ سِنًّا فَوْقَهَا . فَقَالَ « أَعْطُوهُ » . فَقَالَ أَوْفَيْتَنِى ، وَفَّى اللَّهُ بِكَ . قَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « إِنَّ خِيَارَكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً »
Dari Abu Hurairah , ia berkata: “Nabi mempunyai hutang kepada seseorang, (yaitu) seekor unta dengan usia tertentu. Orang itupun datang menagihnya. (Maka) beliaupun berkata, “Berikan kepadanya” kemudian mereka mencari yang seusia dengan untanya, akan tetapi mereka tidak menemukan kecuali yang lebih berumur dari untanya. Nabi (pun) berkata: “Berikan kepadanya”, Dia pun menjawab, “Engkau telah menunaikannya dengan lebih. Semoga Allah  membalas dengan setimpal”. Maka Nabi  bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik dalam pengembalian (hutang)”. (HR. Bukhari, II/843, bab Husnul Qadha’ no. 2263.)
وعَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ أَتَيْتُ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – وَهُوَ فِى الْمَسْجِدِ – وَكَانَ لِى عَلَيْهِ دَيْنٌ فَقَضَانِى وَزَادَنِى
Dari Jabir bin Abdullah  ia berkata: “Aku mendatangi Nabi  di masjid, sedangkan beliau mempunyai hutang kepadaku, lalu beliau membayarnya dam menambahkannya”. (HR. Bukhari, II/843, bab husnul Qadha’, no. 2264)

Termasuk cara yang baik dalam melunasi hutang adalah melunasinya tepat pada waktu pelunasan yang telah ditentukan dan disepakati oleh kedua belah pihak (pemberi dan penerima hutang), melunasi hutang di rumah atau tempat tinggal pemberi hutang, dan semisalnya.

[4]. Berhutang dengan niat baik dan akan melunasinya
Jika seseorang berhutang dengan tujuan buruk, maka dia telah berbuat zhalim dan dosa. Diantara tujuan buruk tersebut seperti:
a). Berhutang untuk menutupi hutang yang tidak terbayar
b). Berhutang untuk sekedar bersenang-senang
c). Berhutang dengan niat meminta. Karena biasanya jika meminta tidak diberi, maka digunakan istilah hutang agar mau memberi.
d). Berhutang dengan niat tidak akan melunasinya.

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه – عَنِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ « مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ ، وَمَنْ أَخَذَ يُرِيدُ إِتْلاَفَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ »
Dari Abu Hurairah , ia berkata bahwa Nabi  bersabda: “Barangsiapa yang mengambil harta orang lain (berhutang) dengan tujuan untuk membayarnya (mengembalikannya), maka Allah  akan tunaikan untuknya. Dan barangsiapa mengambilnya untuk menghabiskannya (tidak melunasinya, pent), maka Allah  akan membinasakannya”. (HR. Bukhari, II/841 bab man akhodza amwala an-naasi yuridu ada’aha, no. 2257)

Hadits ini hendaknya ditanamkan ke dalam diri sanubari yang berhutang, karena kenyataan sering membenarkan sabda Nabi di atas. Berapa banyak orang yang berhutang dengan niat dan tekad untuk menunaikannya, sehingga Allah pun memudahkan baginya untuk melunasinya. Sebaliknya, ketika seseorang bertekad pada dirinya, bahwa hutang yang dia peroleh dari seseorang tidak disertai dengan niat yang baik, maka Allah  membinasakan hidupnya dengan hutang tersebut. Allah  melelahkan badannya dalam mencari, tetapi tidak kunjung dapat. Dan dia letihkan jiwanya karena memikirkan hutang tersebut. Kalau hal itu terjadi di dunia yang fana, bagaimana dengan akhirat yang kekal nan abadi?

[5]. Berupaya untuk berhutang dari orang sholih yang memiliki profesi dan penghasilan yang halal.
Sehingga dengan meminjam harta atau uang dari orang sholih dapat menenangkan jiwa n menjauhkannnya dari hal-hal yang kotor dan haram. Sehingga harta pinjaman tersebut ketika kita gunakan untuk suatu hajat menjadi berkah dan mendatangkan ridho Allah.
Sedangkan orang yang jahat atau buruk tidak dapat menjamin penghasilannya bersih dan bebas dari hal-hal yang haram.

[6]. Tidak berhutang kecuali dalam keadaan darurat atau mendesak.
Maksudnya kondisi yang tidak mungkin lagi baginya mencari jalan selain berhutang sementara keadaan sangat mendesak, jika tidak akan kelaparan atau sakit yang mengantarkannya kepada kematian, atau semisalnya.
Tidak sepantasnya berhutang untuk membeli rumah baru, kendaraan, laptop model terbaru, atau sejenisnya dengan maksud berbangga-banggaan atau menjaga kegengsian dalam gaya hidup. Padahal dia sudah punya harta atau penghasilan yang mencukupi kebutuhan pokoknya.

[7]. Tidak boleh melakukan jual beli yang disertai dengan hutang atau peminjaman
Mayoritas ulama menganggap perbuatan itu tidak boleh. Tidak boleh memberikan syarat dalam pinjaman agar pihak yang berhutang menjual sesuatu miliknya, membeli, menyewakan atau menyewa dari orang yang menghutanginya. Dasarnya adalah sabda Nabi :
لاَ يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ
“Tidak dihalalkan melakukan peminjaman plus jual beli.” (HR. Abu Daud no.3504, At-Tirmidzi no.1234, An-Nasa’I VII/288. Dan At-Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan shahih”.)
Yakni agar transaksi semacam itu tidak dimanfaatkan untuk mengambil bunga yang diharamkan.

[8]. Jika terjadi keterlambatan karena kesulitan keuangan, hendaklah orang yang berhutang memberitahukan kepada orang yang memberikan pinjaman.
Karena hal ini termasuk bagian dari menunaikan hak yang menghutangkan.
Janganlah berdiam diri atau lari dari si pemberi pinjaman, karena akan memperparah keadaan, dan merubah hutang, yang awalnya sebagai wujud kasih sayang, berubah menjadi permusuhan dan perpecahan.

[9]. Menggunakan uang pinjaman dengan sebaik mungkin. Menyadari, bahwa pinjaman merupakan amanah yang harus dia kembalikan.
عَنْ سَمُرَةَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « عَلَى الْيَدِ مَا أَخَذَتْ حَتَّى تُؤَدِّىَ »
Dari Samurah , Nabi  bersabda: “Tangan bertanggung jawab atas semua yang diambilnya, hingga dia menunaikannya”. (HR. Abu Dawud dalam Kitab Al-Buyu’, Tirmidzi dalam kitab Al-buyu’, dan selainnya.)

[10]. Diperbolehkan bagi yang berhutang untuk mengajukan pemutihan atas hutangnya atau pengurangan, dan juga mencari perantara (syafa’at) untuk memohonnya.
Hal ini sebagaimana hadits berikut ini (artinya):
Dari Jabir bin Abdullah , ia berkata: (Ayahku) Abdullah meninggal dan dia meninggalkan banyak anak dan hutang. Maka aku memohon kepada pemilik hutang agar mereka mau mengurangi jumlah hutangnya, akan tetapi mereka enggan. Akupun mendatangi Nabi  meminta syafaat (bantuan) kepada mereka. (Namun) merekapun tidak mau. Beliau  berkata, “Pisahkan kormamu sesuai dengan jenisnya. Tandan Ibnu Zaid satu kelompok. Yang lembut satu kelompok, dan Ajwa satu kelompok, lalu datangkan kepadaku.” (Maka) akupun melakukannya. Beliau  pun datang lalu duduk dan menimbang setiap mereka sampai lunas, dan kurma masih tersisa seperti tidak disentuh. (HR. Bukhari kitab Al-Istiqradh, no. 2405)

[11]. Bersegera melunasi hutang
Orang yang berhutang hendaknya ia berusaha melunasi hutangnya sesegera mungkin tatkala ia telah memiliki kemampuan untuk mengembalikan hutangnya itu. Sebab orang yang menunda-menunda pelunasan hutang padahal ia telah mampu, maka ia tergolong orang yang berbuat zhalim. Sebagaimana hadits berikut:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه – أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ « مَطْلُ الْغَنِىِّ ظُلْمٌ ، فَإِذَا أُتْبِعَ أَحَدُكُمْ عَلَى مَلِىٍّ فَلْيَتْبَعْ »
Dari Abu Hurairah , bahwa Rasulullah  bersabda: “Memperlambat pembayaran hutang yang dilakukan oleh orang kaya merupakan perbuatan zhalim. Jika salah seorang kamu dialihkan kepada orang yang mudah membayar hutang, maka hendaklah beralih (diterima pengalihan tersebut)”. (HR. Bukhari dalam Shahihnya IV/585 no.2287, dan Muslim dalam Shahihnya V/471 no.3978, dari hadits Abu Hurairah .)

[12]. Memberikan Penangguhan waktu kepada orang yang sedang kesulitan dalam melunasi hutangnya setelah jatuh tempo.
Allah  berfirman:
وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (280)
“Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 280).

Diriwayatkan dari Abul Yusr, seorang sahabat Nabi, ia berkata, Rasulullah  bersabda:
« مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُظِلَّهُ اللَّهُ فِى ظِلِّهِ – فَلْيُنْظِرْ مُعْسِرًا أَوْ لِيَضَعْ لَهُ »
“Barangsiapa yang ingin dinaungi Allah dengan naungan-Nya (pada hari kiamat, pen), maka hendaklah ia menangguhkan waktu pelunasan hutang bagi orang yang sedang kesulitan, atau hendaklah ia menggugurkan hutangnya.” (HR Ibnu Majah II/808 no. 2419. Dan di-shahih-kan oleh syaikh Al-Albani)

قَالَ حُذَيْفَةُ وَسَمِعْتُهُ يَقُولُ « إِنَّ رَجُلاً كَانَ فِيمَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ أَتَاهُ الْمَلَكُ لِيَقْبِضَ رُوحَهُ فَقِيلَ لَهُ هَلْ عَمِلْتَ مِنْ خَيْرٍ قَالَ مَا أَعْلَمُ ، قِيلَ لَهُ انْظُرْ . قَالَ مَا أَعْلَمُ شَيْئًا غَيْرَ أَنِّى كُنْتُ أُبَايِعُ النَّاسَ فِى الدُّنْيَا وَأُجَازِيهِمْ ، فَأُنْظِرُ الْمُوسِرَ ، وَأَتَجَاوَزُ عَنِ الْمُعْسِرِ . فَأَدْخَلَهُ اللَّهُ الْجَنَّةَ »
Dari sahabat Hudzaifah, beliau pernah mendengar Rasulullah bersabda:
“Ada seorang laki-laki yang hidup di zaman sebelum kalian. Lalu datanglah seorang malaikat maut yang akan mencabut rohnya. Dikatakan kepadanya (oleh malaikat maut): “Apakah engkau telah berbuat kebaikan?” Laki-laki itu menjawab: “Aku tidak mengetahuinya.” Malaikat maut berkata: “ Telitilah kembali apakah engkau telah berbuat kebaikan.” Dia menjawab: “Aku tidak mengetahui sesuatu pun amalan baik yang telah aku lakukan selain bahwa dahulu aku suka berjual beli barang dengan manusia ketika di dunia dan aku selalu mencukupi kebutuhan mereka. Aku memberi keluasan dalam pembayaran hutang bagi orang yang memiliki kemampuan dan aku membebaskan tanggungan orang yang kesulitan.” Maka Allah (dengan sebab itu) memasukkannya ke dalam surga.” (HR. Bukhari III/1272 no.3266)

Demikian penjelasan singkat tentang beberapa adab Islami dalam hutang piutang. Semoga menjadi tambahan ilmu yang bermanfaat bagi siapapun yang membacanya. Dan semoga Allah menganugerahkan kepada kita semua rezki yang lapang, halal dan berkah, serta terbebas dari lilitan hutang. Amin.

Catatan Kaki:
(1) Lihat Fiqh Muamalat (2/11), karya Wahbah Zuhaili.
(2) Lihat Muntaha Al-Iradat (I/197). Dikutip dari Mauqif Asy-Syari’ah Min Al-Masharif Al-Islamiyyah Al-Mu’ashirah, karya DR. Abdullah Abdurrahim Al-Abbadi, hal.29.
(3) HR. Bukhari dalam Kitab Al-Istiqradh, baba istiqradh Al-Ibil (no.2390), dan Muslim dalam kitab Al-musaqah, bab Man Istaslafa Syai-an Fa Qadha Khairan Minhu (no.1600).
(4) HR. Bukhari IV/608 (no.2305), dan Muslim VI/38 (no.4086).
(5) Lihat Tafsir Al-Quran Al-Azhim, III/316.
(6) Lihat Al-Fatawa Al-Kubra III/146,147.
(7) Lihat Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, Shalih Al-Fauzan, II/51.

[Sumber: MAJALAH PENGUSAHA MUSLIM Edisi 12 Volume 1 / 15 November 2010]

Rabu, 22 Februari 2012

Momen Emas Berdoa

Berdoa mungkin telah menjadi kebutuhan primer kita. Setiap saat dalam kehidupan kita senantiada diisi ibadah yang satu ini. Minimal dalam bacaan shalat lima waktu.

Tidak dipungkiri lagi bahwa biasanya kita berdoa pada saat ada tuntutan kehidupan yang belum terpenuhi. Spirit bermunajat naik seketika. Tingkat kekhusyuan berdoa melonjak saat itu juga. Harapan penuh akan dikabulkannya doa menyeruak dalam hati. Total menghamba dan memohon kepada sang ilahi Robbi.

Ada satu hal penting yang mesti kita ketahui berkenaan dengan ibadah yang disebut Rasulullah sebagai senjata orang yang beriman, tiangnya agama, dan cahaya langit dan bumi ini. Ya, kapan waktu yang paling tepat untuk berdoa? Inilah yang akan menjadi tema kajian kita kali ini.

Ada momen-momen tertentu dalam napas kehidupan kita yang terlalu sayang untuk dilewatkan begitu saja tanpa berdoa. Dan inilah momen-momen tersebut:

1. Lailah al-qadr

Inilah satu malam yang lebih baik dari seribu bulan yang diburu oleh semua insan rabbani. Malam yang begitu menggetarkan relung hati para pencinta surga, karena dengan izin Allah, para malaikat dan malaikat Jibril turun pada malam itu untuk mengatur segala urusan. Malam yang diliputi kesejahteraan hingga terbit fajar.

Rasulullah bersabda, “Barangsiapa beribadah pada lailah al-qadr dengan penuh keimanan dan pengharapan, maka dosa-dosanya yang terdahulu akan diampuni”. (HR. Asy-Syaikhan).

Bukankah Rasulullah pernah bersabda bahwa doa itu adalah otaknya ibadah? Oleh karena itu, jangan sia-siakan momen emas dan malam spesial yang hanya datang sekali dalam setahun tersebut.

2. Hari ‘Arafah

Rasulullah bersabda, “Sebaik-baik doa adalah pada hari ‘Arafah”. (HR. Tirmidzi).

Dalam hadits lain beliau juga bersabda, “Tidak ada satu hari pun yang lebih utama di sisi Allah selain hari ‘Arafah. Pada hari itu Allah SWT turun ke langit dunia, maka ia bermegah-megah dengan penghuni dunia, kepada penghuni langit. Ia berfirman, ‘Perhatikanlah hamba-hamba-Ku itu, mereka datang dengan rambut kusut dan berdebu, berjemur di bawah terik panas matahari, mereka datang dari penjuru dunia yang jauh. Mereka mengharapkan rahmat-Ku dan tidak akan melihat azab-Ku. Maka tidaklah akan kelihatan banyaknya orang yang dibebaskan dari neraka, daripada hari ‘Arafah itu”. (HR. Abu Ya’la, Al-Bazzar, Ibnu Hibban, dan Ibnu Khuzaimah).

3. Bulan Ramadhan

Rasulullah bersabda, “Ada tiga golongan yang tidak akan ditolak doanya: orang yang shaum saat berbuka, pemimpin yang adil, dan orang yang dizalimi”. (HR. Ahmad dan Tirmidzi).

4. Pada hari jum’at

Rasulullah bersabda, “Pada hari jum’at ada satu saat yang tidaklah seorang hamba memohon sesuatu melainkan Allah Ta’ala akan memberikan permintaannya selama ia tidak memohon hal yang diharamkan”. (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).

Rasulullah pernah menyebut hari jum’at, lalu bersabda, “Pada hari jum’at itu ada satu saat yang apabila kebetulan seorang muslim menegakkan shalat sambil meminta sesuatu (berdoa) kepada Allah Azza wa Jalla, maka Allah akan memberinya apa yang dia minta, seraya Rasul mengisyaratkan dengan tangannya menyedikitkan saat itu”. (HR. Muttafaq ‘Alaih).

5. Pada waktu tengah malam atau akhir malam

Rasulullah bersabda, “Pada tiap malam, Tuhan kita turun ke langit dunia ketika bersisa sepertiga malam yang akhir. Allah berfirman, “Barangsiapa yang berdoa kepada-Ku, pasti akan Aku kabulkan. Barangsiapa yang memohon kepada-Ku, pasti akan Aku beri. Dan barangsiapa yang memohon ampun kepada-Ku, pasti akan Aku ampuni”. (HR. Malik, Bukhari, Muslim, Tirmidzi, dan selainnya).

Dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim disebutkan bahwa bila telah lewat sebagian malam atau dua pertiganya, Allah Yang Maha Memberkati dan MahaTinggi akan turun ke langit dunia, lalu berfirman, “Tidak ada seorang pun yang meminta, melainkan pasti akan Aku beri. Tidak ada seorangpun yang berdoa, melainkan pasti akan Aku kabulkan. Dan tidak ada seorang pun yang memohon ampun, melainkan pasti akan Aku ampuni sehingga tiba waktu subuh”.

“Waktu paling dekat antara Tuhan dengan seorang hamba adalah pada pertengahan malam. Jika engkau mampu menjadi orang yang berdzikir kepada Allah pada saat itu, maka kerjakanlah”. (HR. Abu Daud dan Tirmidzi).

6. Setelah shalat fardhu

Ada yang bertanya, “Wahai Rasulullah, kapankah doa yang paling didengar Allah? Rasulullah menjawab, “Doa di pertengahan malam dan doa setelah shalat wajib”. (HR. Tirmidzi).

7. Di waktu lapang

Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang menginginkan doanya dipenuhi Allah ketika ia dalam kesulitan, maka hendaklah ia memperbanyak doa di waktu lapangnya”. (HR. Tirmidzi dan Hakim).

“Tidak ada sesuatu yang lebih mulia di sisi Allah ‘Azza wa Jalla daripada doa ketika dalam keadaan lapang”. (HR. Hakim).

8. Di waktu sujud

Rasulullah bersabda, “Jarak yang paling dekat antara seorang hamba dengan Tuhannya ialah ketika sujud, maka perbanyaklah doa di waktu itu”. (HR. Muslim).

“Tidaklah seseorang menaruh keningnya seraya bersujud kepada Allah lalu berkata, ‘Tuhanku, ampunilah dosaku -tiga kali-, kecuali pada saat ia mengangkat kepalanya, melainkan dosa-dosanya telah diampuni”. (HR. Ibnu Abi Syaibah).

Imam Muslim dan yang lainnya meriwayatkan dari Rabi’ah bin Ka’ab yang sempat membantu Nabi saw. Ia berkata, “Aku tinggal bersama Rasulullah saw dan membawakan
air wudhunya dan untuk buang hajatnya. Rasul bersabda, ‘Mintalah kepadaku’. Aku berkata, ‘Aku mohon dapat menyertaimu di surga’ . Beliau bersabda, ‘Mintalah yang lainnya?’. Aku menjawab, ‘Cukup itu saja’. Lalu beliau bersabda, “Bantulah dirimu dengan memperbanyak sujud”.

9. Antara azan dan iqomat

Rasulullah bersabda, “Doa di antara azan dan iqomat tidak akan ditolak”. (HR. Tirmidzi).

Wallahu A’lam bishshawab.

Rabu, 15 Februari 2012

7 golongan yang dikabulkan doanya

Rasulullah saw bersabda, “Doa adalah ibadah … ” (HR. Ibnu Hibban). Doa merupakan ibadah yang dapat dilakukan siapa saja. Ringan, mudah, dan tidak memakan waktu yang relatif lama. Isi doa bisa beragam, tergantung kepada kebutuhan orangnya.
Doa menunjukkan kelemahan kita sebagai hamba yang dho’if terhadap Allah SWT Yang MahaKuat. Doa merupakan manifestasi ketidakberdayaan kita sebagai hamba yang sangat membutuhkan uluran tangan-Nya.
Dalam pandangan Allah SWT doa merupakan jenis ibadah yang sangat luhur dan agung. Allah mengkatagorikan orang yang tidak mau berdoa kepada-Nya sebagai orang yang arogan. “Tuhanmu berfirman, ‘Berdoalah kepada-Ku, niscaya Aku perkenankan doamu. Sesungguhnya orang-orang yang arogan dari beribadah kepada-Ku, mereka akan dimasukkan ke dalam neraka Jahannam dalam keadaan hina dina” (QS. Al-Mukmin:60).
Adalah sangat arogan jika ada orang yang enggan berdoa kepada Allah. Dan ini merupakan bentuk arogansi yang terburuk di mata Allah. Bagaimana mungkin seorang hamba enggan berdoa kepada-Nya padahal Dia-lah yang menciptakannya, memberinnya rezeki, menyebabkannya ada dari ketiadaannya, menghidupkannya, mematikannya, …??? Tidak diragukan lagi bahwa arogansi seperti ini merupakan bentuk dari pengingkaran terhadap berbagai nikmat-Nya. Bahkan secara tegas dalam hadits riwayat Tirmidzi, Allah memurkai orang tersebut. “Barangsiapa yang tidak pernah memohon kepada Allah, maka Dia memurkainya” Demikian Rasulullah saw panutan kita bersabda. Senada dengan hadits tersebut, “Barangsiapa yang tidak pernah berdoa kepada Allah, maka Dia memurkainya” (HR. Ibnu Abi Syaibah).
Dalam kesempatan lain, Rasulullah pun mengingatkan kita bahwa tidak ada dalam kamusnya orang dibinasakan hanya karena ia berdoa. “Janganlah kamu merasa lemah dalam berdoa, karena sesungguhnya tiada seorang pun yang binasa karena berdoa” (HR. Ibnu Hibban).
Disebutkan dalam kitab Tuhfah Al-Dzakirin, ada beberapa katagori orang yang akan diijabah doanya oleh Allah SWT. Diantaranya sebagai berikut:
1. Al-Mudhthor (orang yang dilanda kesulitan).
Allah SWT berfirman, “Atau siapakah yang memperkenankan doa orang yang dilanda kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan serta menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di muka bumi? Apakah di samping Allah ada tuhan yang lain? Amat sedikitlah kamu mengingat-Nya”. (QS. Al-Naml: 62).
Agar doa saat dilanda kesulitan diijabah, Rasulullah memberikan kiat khusus kepada kita. “Barangsiapa yang ingin diijabah doanya oleh Allah saat dilanda kesulitan, maka perbanyaklah intensitas doa pada saat senang’ (HR. Tirmidzi).
2. Doa orang yang dizalimi.
Rasulullah saw bersabda, “Ada tiga doa yang pasti akan dikabulkan: doa orang yang dizalimi, doa orang yang bepergian, dan doa orangtua untuk anaknya” (HR. Tirmidzi. Tirmidzi menilai derajat hadits ini hasan).
Bahkan yang harus membuat kita waspada adalah sabda Rasulullah dalam riwayat Shahihain, “Hati-hatilah terhadap doa orang yang dizalimi, karena tidak ada hijab/penghalang antara doanya dengan Allah”
3. Doa orangtua untuk anaknya (lihat hadits di atas pada point no 2).
4. Doa orang yang saleh.
Rasulullah bersabda, “Tidaklah seseorang berdoa melainkan Allah akan memberikan permohonannya atau menghilangkan keburukannya, selama ia tidak berbuat dosa atau memutuskan silaturahim” (HR. Ahmad dan Tirmidzi. Al-Albani menilai derajat hadits ini hasan).
5. Doa anak yang berbakti kepada orangtuanya.
Pernah suatu ketika ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah, ia berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku senantiasa menggendong ibuku kemanapun beliau ada kebutuhan” kira-kira seperti itu kalau dibahasakan. Lalu laki-laki itu bertanya, “Apakah semua jasa ibuku telah terbayar” Rasulullah menjawab, “Tidak, sedikit pun belum terbayar”.
Pada saat yang lain, ada seorang laki-laki datang menemui Umar bin Khathab. Ia meminta kepada Umar untuk mendoakannya agar terlepas dari beban kesulitan hidupnya. Tanpa diduga, Umar malah berkata, “Kamu datang pada orang yang kurang tepat, coba kamu datang kepaa si fulan dan mintalah ia berdoa untukmu, niscaya doanya akan dikabul oleh Allah”.
Ternyata si fulan yang dimaksud oleh Umar adalah laki-laki yang senantiasa menggendong ibunya kemanapun ibunya itu pergi.
Dari sini, kita bisa menarik benang merah bahwa ada korelasi yang sangat kuat antara birrul walidain (berbakti kepada orangtua) dengan pengabulan doa.
6. Orang yang shaum
Rasulullah saw bersabda, “Ada tiga buah doa yang tidak akan ditolak: doa orang yang shaum saat ia berbuka, doa pemimpin yang adil, dan doa orang yang dizalimi” (HR. Ahmad dan Tirmidzi. Tirmidzi menilai derajat hadits ini hasan).
7. Doa seorang muslim untuk saudaranya saat ia tidak ada
Rasulullah saw bersabda, “Tidaklah seorang muslim mendoakan saudaranya saat ia sedang tidak ada, melainkan malaikat berkata, ‘kamu pun akan mendapatkan seperti apa yang kamu doakan” (HR. Muslim).
wallahu a’lam bi al-shawab

Senin, 13 Februari 2012

Jaga Lisanmu


Banyak orang merasa bangga dengan kemampuan lisannya (lidah) yang begitu fasih berbicara. Bahkan tak sedikit orang yang belajar khusus agar memiliki kemampuan bicara yang bagus. Lisan memang karunia Allah yang demikian besar. Dan ia harus selalu disyukuri dengan sebenar-benarnya. Caranya adalah dengan menggunakan lisan untuk bicara yang baik atau diam. Bukan dengan mengumbar pembicaraan semau sendiri.
Orang yang banyak bicara bila tidak diimbangi dengan ilmu agama yang baik, akan banyak terjerumus ke dalam kesalahan. Karena itu Allah dan Rasul-Nya memerintahkan agar kita lebih banyak diam. Atau kalaupun harus berbicara maka dengan pembicaraan yang baik. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar.” (Al-Ahzab: 70)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (HR. Al-Imam Al-Bukhari hadits no. 6089 dan Al-Imam Muslim hadits no. 46 dari Abu Hurairah)
Lisan (lidah) memang tak bertulang, sekali engkau gerakkan sulit untuk kembali pada posisi semula. Demikian berbahayanya lisan, hingga Allah dan Rasul-Nya mengingatkan kita agar berhati-hati dalam menggunakannya.
Dua orang yang berteman penuh keakraban bisa dipisahkan dengan lisan. Seorang bapak dan anak yang saling menyayangi dan menghormati pun bisa dipisahkan karena lisan. Suami istri yang saling mencintai dan saling menyayangi bisa dipisahkan dengan cepat karena lisan. Bahkan darah seorang muslim dan mukmin yang suci serta bertauhid dapat tertumpah karena lisan. Sungguh betapa besar bahaya lisan.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
Sesungguhnya seorang hamba berbicara dengan satu kalimat yang dibenci oleh Allah yang dia tidak merenungi (akibatnya), maka dia terjatuh dalam neraka Jahannam.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 6092)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
Sesungguhnya seorang hamba apabila berbicara dengan satu kalimat yang tidak benar (baik atau buruk), hal itu menggelincirkan dia ke dalam neraka yang lebih jauh antara timur dan barat.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 6091 dan Muslim no. 6988 dari Abu Hurairah Rad. )
Al-Imam An-Nawawi mengatakan: “Hadits ini (yakni hadits Abu Hurairah yang dikeluarkan oleh Al-Bukhari dan Muslim) teramat jelas menerangkan bahwa sepantasnya bagi seseorang untuk tidak berbicara kecuali dengan pembicaraaan yang baik, yaitu pembicaraan yang sudah jelas maslahatnya dan kapan saja dia ragu terhadap maslahatnya, janganlah dia berbicara.” (Al-Adzkar hal. 280, Riyadhus Shalihin no. 1011)
mengatakan: “ Al-Imam Asy-Syafi’i Apabila dia ingin berbicara hendaklah berpikir dulu. Bila jelas maslahatnya maka berbicaralah, dan jika dia ragu maka janganlah dia berbicara hingga nampak maslahatnya.” (Al-Adzkar hal. 284)
Dalam kitab Riyadhus Shalihin, Al-Imam An-Nawawi mengatakan: “Ketahuilah, setiap orang yang telah mendapatkan beban syariat, seharusnya menjaga lisannya dari semua pembicaraan, kecuali pembicaraan yang sudah jelas maslahatnya. Bila keadaan berbicara dan diam sama maslahatnya, maka sunnahnya adalah menahan lisan untuk tidak berbicara. Karena pembicaraan yang mubah bisa menarik kepada pembicaraan yang haram atau dibenci, dan hal seperti ini banyak terjadi. Keselamatan itu tidak bisa dibandingkan dengan apapun.”
Keutamaan Menjaga Lisan
Memang lisan tidak bertulang. Apabila keliru menggerakkannya akan mencampakkan kita dalam murka Allah yang berakhir dengan neraka-Nya. Lisan akan memberikan ta’bir (mengungkapkan) tentang baik-buruk pemiliknya. Inilah ucapan beberapa ulama tentang bahaya lisan:
1. Anas bin Malik : “Segala sesuatu akan bermanfaat dengan kadar lebihnya, kecuali perkataan. Sesungguhnya berlebihnya perkataan akan membahayakan.”
2. Abu Ad-Darda’ : “Tidak ada kebaikan dalam hidup ini kecuali salah satu dari dua orang yaitu orang yang diam namun berpikir atau orang yang berbicara dengan ilmu.”
3. Al-Fudhail : “Dua perkara yang akan bisa mengeraskan hati seseorang adalah banyak berbicara dan banyak makan.”
4. Sufyan Ats-Tsauri : “Awal ibadah adalah diam, kemudian menuntut ilmu, kemudian mengamalkannya, kemudian menghafalnya lantas menyebarkannya.”
5. Al-Ahnaf bin Qais : “Diam akan menjaga seseorang dari kesalahan lafadz (ucapan), memelihara dari penyelewangan dalam pembicaraan, dan menyelamatkan dari pembicaraan yang tidak berguna, serta memberikan kewibawaan terhadap dirinya.”
6. Abu Hatim : “Lisan orang yang berakal berada di belakang hatinya. Bila dia ingin berbicara, dia mengembalikan ke hatinya terlebih dulu, jika terdapat (maslahat) baginya maka dia akan berbicara. Dan bila tidak ada (maslahat) dia tidak (berbicara). Adapun orang yang jahil (bodoh), hatinya berada di ujung lisannya sehingga apa saja yang menyentuh lisannya dia akan (cepat) berbicara. Seseorang tidak (dianggap) mengetahui agamanya hingga dia mengetahui lisannya.”
7. Yahya bin ‘Uqbah: “Aku mendengar Ibnu Mas’ud berkata: ‘Demi Allah yang tidak ada sesembahan yang benar selain-Nya, tidak ada sesuatu yang lebih pantas untuk lama dipenjarakan dari pada lisan.”
8. Mu’arrifh Al-‘Ijli : “Ada satu hal yang aku terus mencarinya semenjak 10 tahun dan aku tidak berhenti untuk mencarinya.” Seseorang bertanya kepadanya: “Apakah itu wahai Abu Al-Mu’tamir?” Mua’arrif menjawab: “Diam dari segala hal yang tidak berfaidah bagiku.”
(Lihat Raudhatul ‘Uqala wa Nuzhatul Fudhala karya Abu Hatim Muhamad bin Hibban Al-Busti, hal. 37-42)
Buah Menjaga Lisan
Menjaga lisan jelas akan memberikan banyak manfaat. Di antaranya:
1. Akan mendapat keutamaan dalam melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya. Abu Hurairah Rad. meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 6090 dan Muslim no. 48)
2. Akan menjadi orang yang memiliki kedudukan dalam agamanya.
Dalam hadits Abu Musa Al-Asy’ari, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam ketika ditanya tentang orang yang paling utama dari orang-orang Islam, beliau menjawab:
“(Orang Islam yang paling utama adalah) orang yang orang lain selamat dari kejahatan tangan dan lisannya.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 11 dan Muslim no. 42)
Asy-Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali mengatakan: “Hadits ini menjelaskan larangan mengganggu orang Islam baik dengan perkataan ataupun perbuatan.” (Bahjatun Nazhirin, 3/8)
3. Mendapat jaminan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam untuk masuk ke surga.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda dalam hadits dari Sahl bin Sa’d :
Barangsiapa yang menjamin untukku apa yang berada di antara dua rahangnya dan apa yang ada di antara dua kakinya (kemaluan) maka aku akan menjamin baginya al-jannah (surga).” (HR. Al-Bukhari no. 6088)
Dalam riwayat Al-Imam At-Tirmidzi no. 2411 dan Ibnu Hibban no. 2546, dari shahabat Abu Hurairah Rad. , Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
Barangsiapa yang dijaga oleh Allah dari kejahatan apa yang ada di antara dua rahangnya dan kejahatan apa yang ada di antara dua kakinya (kemaluan) maka dia akan masuk surga.”
4. Allah akan mengangkat derajat-Nya dan memberikan ridha-Nya kepadanya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda dalam hadits dari Abu Hurairah Rad. :
Sesungguhnya seorang hamba berbicara dengan satu kalimat dari apa yang diridhai Allah yang dia tidak menganggapnya (bernilai) ternyata Allah mengangkat derajatnya karenanya.” (HR. Al-Bukhari no. 6092)
Dalam riwayat Al-Imam Malik, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali dalam Bahjatun Nazhirin (3/11), dari shahabat Bilal bin Al-Harits Al-Muzani bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
Sesungguhnya seseorang berbicara dengan satu kalimat yang diridhai oleh Allah dan dia tidak menyangka akan sampai kepada apa (yang ditentukan oleh Allah), lalu Allah mencatat keridhaan baginya pada hari dia berjumpa dengan Allah.”
Demikianlah beberapa keutamaan menjaga lisan. Semoga kita diberi kemampuan oleh Allah untuk melaksanakan perintah-Nya dan perintah Rasul-Nya dan diberi kemampuan untuk mengejar keutamaan tersebut. Wallahu a’lam